Pangan Lokal, Pilihan Terbaik Di Saat Harga Beras Naik

Oleh: Elisabeth Uru Ndaya, S.Pd.          

Sumba, pulau yang kaya akan jenis pangan lokal khususnya di Kabupaten Sumba Timur, akan tetapi pangan lokal tersebut belum banyak dimanfaatkan oleh masyarakat, sehingga ketersediaannya juga belum optimal. Jika dikelola dengan baik, pangan lokal memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Hal ini penting dipahami oleh kelompok tenun Kawara Panamung untuk bisa berinisiatif mengembangkan pangan lokal. Mereka tidak hanya menekuni kerajinan tenun, tetapi juga pengolahan pangan lokal yang ada di daerah mereka. Bertempat di rumah tenun Kawara Panamung, para perempuan bertemu membahas apa saja pangan lokal yang bisa diolah (Kamis, 05/10/2023).

Pada kesempatan tersebut, ibu-ibu bersepakat untuk berlatih membuat kue labu. Narasumber kegiatan ini adalah Ibu Kalita Mburu, kader posyandu juga kepala sekolah Paud Bina Kasih. Ia sudah pernah mengikuti pelatihan pangan lokal di tingkat provinsi, sehingga ia bisa mendampingi dan mengajari para ibu kelompok tenun Kawara Panamung cara membuat kue labu, mulai dari menyiapkan alat dan bahan hingga proses pembuatannya. Sembari membuat kue, peserta menceritakan efek musim kemarau yang berkepanjangan dengan mengeluhkan harga beras yang naik dari biasanya. Saat ini satu karung beras seharga Rp.500.000, naik menjadi Rp.700.000. Kenaikan harga beras ini membuat masyarakat khususnya di Kec. Nggaha Ori Angu beramai-ramai mengolah pangan lokal untuk bisa dimakan dan juga dijual.

Saat ini pangan lokal yang banyak diolah adalah iwi atau ubi hutan. Makanan ini bentuknya seperti buah bengkoang, banyak ditemukan di hutan, namun cara pengolahannya juga harus cermat. Kalau tidak diolah dengan baik dapat membuat orang yang mengonsumsinya mabok hingga berujung kematian. Cara pengolahannya yaitu umbi tersebut diiris tipis, jemur dan direndam di sungai selama 3 hari tiga malam untuk menghilangkan getahnya. Setelah itu dijemur sampai kering, barulah bisa diolah jadi makanan dalam bentuk kripik, bubur bahkan bisa di campur dengan beras.

Beberapa peserta menyatakan saat ini sedang mengolah iwi menjadi makanan pengganti beras. Seperti cerita pengalaman dari Ibu Yohana Day Ngana. “Saat ini saya sudah menghasilkan 2 karung iwi dan mengolahnya menjadi makanan pengganti beras, jadi beras di rumah bisa irit,” tegasnya. Ibu Katrina Pindi Njola juga bercerita bahwa makan masakan iwi bisa memperpanjang masa kenyang. Dari cerita pengalaman di atas, penulis menegaskan kepada mereka bahwa betapa pentingnya mengolah pangan lokal yang ada, apalagi jika dikelola dengan baik dapat mendapatkan nilai jual tinggi.

Usai bertukar pengalaman dan berhasil membuat kue labu, mereka promosikan hasil di Facebook. Dengan modal Rp. 200.000, menghasilkan 5 pan kue yang laku terjual dengan harga Rp. 500.000.  Keuntungan yang mereka dapatkan masuk kas kelompok untuk kebutuhan mereka mengerjakan kain, dan modalnya dipersiapkan untuk diputar kembali dengan mengolah pangan lokal lainnya. Tentu saja hal ini membuat para ibu semakin semangat dan antusias. Setelah itu mereka lanjut mengerjakan benang untuk membuat kain tenun ikat. Pada pertemuan selanjutnya mereka mencoba untuk mengolah iwi menjadi kripik dan akan dipromosikan ke sekolah-sekolah juga media sosial. ***

Komentar