Menelusuri Jejak Dan Kendali Perempuan Pelopor

Oleh: Elisabeth Uru Ndaya.          

“Perempuan berdaya akan terus berinovasi dan berpikir kreatif demi mencapai kemandirian untuk dirinya dan untuk kepentingan banyak orang. Namun pemberdayaan dan kesetaraan bagi perempuan hanya  tercapai jika berbagai pihak tidak bekerja sendiri melainkan bekerja bersama dan bersinergi. Di sisi lain dibutuhkan peningkatan skill dan profesionalitas bagi perempuan agar memiliki kualifikasi sehingga mampu berkompetisi. Ini merupakan kesempatan sekaligus tantangan bagi kaum perempuan. Artinya meski kesempatan sudah terbuka, berbagai lapangan pekerjaan terbuka, tetapi jika kaum perempuan tidak mampu memanfaatkan dengan meningkatkan kualitas diri dan tidak ada daya dukung sosial mulai dari keluarga, maka dengan sendirinya perempuan akan tersingkir,” tutur Selia Narwastu Nangi, narasumber dalam diskusi jejak dan kendali perempuan pelosok desa (Waingapu, 05/05/2023).

Selia Narwasti Nangi, S.I.Kom adalah seorang perempuan founder dan volunteer dari taman baca ‘Cahaya Anak Sumba’ yang bergerak di bidang Pendidikan non formal di Sumba Timur. Sejak tahun 2015 sambil kuliah, ia aktif mengikuti program-program relawan dan aktif di beberapa komunitas pembentukkan karakter untuk anak dan perempuan hingga saat ini. Ia pernah menerima penghargaan atas perjuangannya untuk pendidikan non formal bagi anak-anak di Sumba dan dinobatkan menjadi pemenang Kanaga Award 2019 (Agen Muda Berdampak untuk Indonesia Timur) oleh Yayasan Plan International Indonesia. Pada kesempatan ini, Selia berbagi banyak pengalaman selama ia bergerak memperjuangkan hak-hak anak dan perempuan di daerahnya di Desa Mbatakapidu, Kec. Kota Waingapu, Kab. Sumba Timur. Ia menceritakan alsasan memilih menjadi seorang aktivis, yang berawal dari keresahannya melihat ketidakadilan yang terjadi terhadap remaja perempuan di kampungnya, seperti pada umumnya remaja perempuan tidak melanjutkan pendidikannya karna dipaksa berkeluarga. Ia juga sangat mencintai anak-anak. Ia mendapati anak-anak di pelosok desa banyak yang tidak kenal huruf bahkan tidak bisa berbahasa Indonesia dengan baik, oleh karena itu ia dengan sukarela mengumpulkan anak-anak di bukit, membimbing dan mengajari mereka selama bertahun-tahun sampai pada akhirnya memiliki  pondok taman baca.

Suharyati peserta yang ada pada saat itu bertanya bagaimana cara ia memperjuangkan perempuan di desanya yang dipaksa untuk menikah. Selia menjelaskan, ia melakukan pendekatan terus menerus pada orang tua dan keluarga anak dan melakukan pendekatan dengan pemerintah setempat melalui dinas terkait. Ia menjadi narahubung antara pemerintah dan keluarga anak. Ia mengakui tidak gampang dalam menangani kasus seperti ini, namun walau membutuhkan proses panjang, ia berhasil menangani kasus yang sama tidak hanya satu kali dan itu berhasil membuat beberapa anak melanjutkan sekolah dengan baik. Di sela-sela diskusi, Margareta, peserta diskusi bertanya apa kesulitan dan tantangan yang dihadapi selama ini. Selia bercerita awalnya tidak ada dukungan dari keluarga, banyak yang meragukannya, bahkan ada pihak-pihak tertentu yang tidak menerima apa yang ia lakukan. Namun, seiring berjalannya waktu semuanya berubah, keluarga mendukung, banyak jejaring yang bisa diajak bekerja sama untuk membangun desa dan bahkan beberapa bulan ke depan ia akan mengikuti program volunteer di New Zealand. Mendengar kisah semangat dari seorang perempuan muda membuat anak muda yang hadir pada saat itu merasa tertantang untuk melakukan sesuatu untuk desanya.

Pada akhir diskusi ia menegaskan,”Orang muda desa harus melakukan suatu gerakan yang berdampak, harus aktif dan produktif, karna kalau bukan dimulai dari kita, siapa lagi? Anak muda harus dapat menggali potensi desa masing-masing agar mampu melihat peluang untuk berkarya. Kita juga harus bisa memperjuangkan kaum lemah yang ada di desa kita masing-masing.” ***

Komentar