Perempuan dan Tingkat Kepercayaaan

Oleh: Alfin Lestari          

Perkembangan keterlibatan perempuan dari waktu ke waktu terus meningkat secara signifikan, hal ini bisa dilihat dari keterwakilan perempuan dalam berbagai organisasi. Namun jika berbicara tentang tingkat kepercayaan atas tanggung jawab yang diberikan kepada perempuan masih sangat minim karena perempuan seringkali dianggap sebagai pelengkap saja. Meskipun saat ini adalah zaman modern, perempuan masih sering mendapatkan perlakuan yang tidak adil, bahkan menjadi korban kekerasan baik secara verbal maupun non verbal.

Di Sumba ada dua perbedaan kehidupan sosial yang nyata bagi laki-laki dan perempuan. Lingkungan masyarakat ditandai sebagai tempat pertama bagi laki-laki, dan perempuanlah yang akrab dengan lingkungan rumah tangga. Kebiasaan seperti inilah yang membuat banyak perempuan hanya mengasuh anak-anak dan berada di lingkungan rumah tangga. Selain itu, hal ini juga menyebabkan perempuan kurang berpartisipasi dalam arena politik, karena dipengaruhi secara kultural dan diperkuat oleh interpretasi agama, sehingga perempuan berada di posisi subordinat terhadap laki-laki atau masih dianggap sebagai mahluk yang berada di bawah kepemimpinan laki-laki. Oleh karena itu dalam pengambilan keputusan, berkaitan dengan kehidupan sosial, politik ekonomi maupun kehidupan pribadi itu sendiri, umumnya perempuan tidak memiliki hak suara apalagi hak untuk mengambil dan memberi keputusan.

Dengan alasan di atas, Multiplikasi Stube HEMAT di Sumba bersama 30 peserta mahasiswa STT GKS berdiskusi menyuarakan hak perempuan bersama narasumber Pendeta. Dr. Suryaningsih Mila, M.Si di Aula STT GKS Lewa (Sabtu, 3/9/2022). Di awal diskusi, Elisabeth Uru Ndaya, S.Pd memperkenalkan sedikit tentang Lembaga Stube-HEMAT dan menjelaskan tujuan diskusi tersebut. Setelah itu, Pdt. Ningsih memberikan arahan dan pandangan tentang stigma masyarakat terhadap perempuan. Ia mengatakan munculnya pandangan negatif terhadap perempuan karena dipengaruhi oleh budaya patriarki. Di pengantar diskusi, ia memberikan kesempatan kepada para mahasiwa untuk menyuarakan pendapat tentang tantangan bagi perempuan pemimpin, dan syarat menjadi pemimpin. Beberapa mahasiswa menyampaikan pemikiran dan pandangan mereka. Arniwati, mahasiswa theologi menyampaikan bahwa tantangan yang dihadapi perempuan ialah adanya keragu-raguan dari laki-laki yang menganggap bahwa perempuan tidak dapat dipercaya, karena dalam pandangan masyarakat perempuan hanya bertugas di dapur. Seorang mahasiswa lain yang bernama Ruth memberikan sarannya tentang syarat menjadi pemimpin ialah yang mampu dan berani bertanggung jawab terhadap apa yang sudah menjadi misinya.

Dalam tema women rights, leadership, and participation, Ovi, peserta yang hadir pada saat itu bertanya bagaimana caranya agar perempuan dapat dipercaya untuk menjadi  seorang pemimpin dalam organisasi maupun di lembaga masyarakat. Pendeta Suryaningaih merespon dengan mengatakan bahwa perempuan harus membangun kesadaran diri dan mengubah pola pikir menjadi aktif dan kreatif. Ia juga menegaskan bahwa perempuan bisa menjadi pemimpin masa depan,  perempuan bisa menjadi role model dan agen perubahan, dengan berangkat dari nilai-nilai hidup yang benar, adil, selaras, peduli dan penuh empati. Perempuan mendukung sesama perempuan dengan mengispirasi memberdayakan dan bekerja sama, perempuan dapat berfikir dan bertindak strategis dan politis. Perempuan juga bisa berpartisipsi di ruang publik dan menembus ruang publik yang digenderkan. Dengan cara perempuan harus memiliki perspektif feminis, perempuan menguatkan kapasitas diri, percaya diri, dan perempuan perlu bekerja sama dengan laki-laki.

Di akhir diskusi, Pdt. Suryaningsih mengharapkan agar perempuan-perempuan masa kini mempunyai mimpi yang besar untuk dirinya. Bukan sekedar jadi ibu rumah tangga, tetapi  ke depannya juga menjadi perempuan yang inovatif, produktif dan partisipatif. ***



Komentar