Oleh: Elisabeth Uru Ndaya, S.Pd.
Perempuan adalah manusia, hak perempuan adalah hak asasi manusia. HAM
berlaku secara universal untuk semua orang yang artinya semua berhak atas
perlindungan hak asasi dan kebebasannya. Perempuan memiliki hak dan kesempatan
yang setara dengan gender lainnya. Sangat perlu ada perjuangan khusus untuk hak
perempuan, karena banyak pelanggaran hak dan kesenjangan kesempatan yang
dialami perempuan dan bahkan merugikan perempuan. Seperti kekerasan dalam rumah
tangga, kekerasan seksual, kurangnya akses pendidikan dan lain sebagainya. Sudah
ratusan tahun, gerakan hak perempuan berkampanye menghapus aturan, perilaku stigma
dan tradisi yang tidak berpihak pada perempuan. Hingga saat inipun kampanye memperjuangkan
hak perempuan terus didengungkan sebagaimana halnya Program Multiplikasi Stube
HEMAT di Sumba, memperkenalkan dan menyuarakan hak-hak perempuan pada mahasiswa
dan komunitas perempuan.
Sebuah diskusi menarik diselenggarakan di gedung gereja GKS Karunggu,
bersama Komisi Perempuan GKS Jemaat Karunggu dengan narasumber Pdt. Dr. Irene
Umbu Lolo, M.Th, dosen STT GKS, juga seorang aktivis perempuan (Senin,
12/09/2022). Narasumber menceritakan bahwa pelanggaran hak perempuan yang kerap
terjadi adalah kekerasan berbasis gender, yaitu tindakan kekerasan yang
dilakukan atas dasar identitas gender yang mengakibatkan penderitaan secara
fisik yaitu berupa KDRT, pemerkosaan, kehamilan yang tidak diinginkan, dan keguguran.
Penderitan secara psikis yang terjadi mengakibatkan depresi, ketakutan,
gangguan stress, dan munculnya pikiran untuk bunuh diri. Dalam kesempatan
tersebut, Pdt. Irene menegaskan bahwa jika ada kekerasan yang terjadi jangan
pernah di bungkam, jangan takut untuk bersuara karena setiap kita punya hak
untuk hidup tenteram. Ia bercerita pernah mendampingi seorang perempuan korban
kekerasan dari suaminya sendiri, dimana suaminya menyiksa istrinya dalam waktu
yang lama, bahkan melakukan segala cara untuk membunuhnya. Kekerasan yang
dialami istri tersebut tidak hanya secara fisik namun juga psikis. Ia begitu
menderita, hingga istrinya memutuskan untuk bersuara, dan terus menerima
pendampingan yang pada akhirnya ia mendapatkan kembali haknya yaitu hak untuk
hidup tentram dan bahagia.
Alfin Lestari seorang aktivis bertanya, “Terkadang perempuan yang merupakan korban ketidakadilan gender merasa nyaman saja dengan situasinya dan pasrah dengan perilaku ketidakadilan yang ia dapatkan. Dalam situasi seperti ini langkah-langkah apa yang bisa dilakukan agar mereka yang ada dalam situasi tersebut berani untuk bersuara untuk memperjuangkan hak-hak mereka?” Pdt Irene merespon bahwa pertama, perempuan harus paham haknya terlebih dahulu. Perempuan berhak untuk hidup dan mendapatkan kehidupan yang layak. Perempuan berhak untuk bebas, perempuan berhak untuk bahagia, perempuan berhak untuk sehat jasmani dan rohani, perempuan berhak untuk tetap terlihat cantik dan elegan. Seringkali perempuan kalau sudah berumah tangga, lupa untuk urus diri karena yang diurus hanya suami, anak-anak dan keluarga. Biasanya kalau berangkat ke gereja atau kemana saja, suami dan anak-anak terlihat rapi, tetapi istri, bahkan rambut lupa disisir. Komisi perempuan yang hadir saat itu merespon dengan tertawa tergelak.
Selain itu, tidak sedikit perempuan yang tidak tau haknya. Jika para perempuan menyadari penuh hak-hak hidupnya, maka ia tidak akan terus membelenggu dirinya dalam situasi ketidakadilan. Perempuan yang hebat adalah perempuan yang mampu memperjuangkan haknya di tengah-tengah keluarga maupun lingkungannya. Perempuan juga berhak untuk bersosialisasi, jika perempuan sering bertemu dan berkumpul, maka perempuan akan kembali berdaya karena akan saling menguatkan, bergandengan tangan, membangun persaudaraan yang kuat dan membangin solidaritas.
Pada akhir diskusi, Pdt. Irene mengapresiasi semangat Komisi Perempuan untuk
terus berorganisasi lewat kelompok perempuan tenun yang sudah berjalan kurang
lebih dua tahun dan berhasil memberi bekal ketrampilan kepada kaum perempuan.
***
Komentar
Posting Komentar