Melawan Stigma Perempuan Lemah: Menjadi Perempuan Berdaya di Era Revolusi Industri 4.0

Oleh Elisabeth Uru Ndaya           

Adanya stigma masyarakat yang sering mendiskriminasi perempuan dan mengganggap perempuan lemah tak berdaya, bodoh, tidak mandiri, sumber masalah, dan lain sebagainya membuat Program Multiplikasi Stube HEMAT di Sumba yang berfokus pada pemberdayaan perempuan memberikan kesempatan kepada mahasiswa sebagai generasi penerus untuk belajar dan berdiskusi bagaimana menghargai potensi yang ada pada diri perempuan dan memperjuangkan hak-hak perempuan yang tertindas. Kegiatan diskusi dilaksanakan pada hari Rabu, 23 Maret 2022 di Alexis cafe, Waingapu dengan menghadirkan 20 peserta mahasiswa Unkriswina.

Pdt. Dr. Suryaningasih Mila, M.Si yang merupakan narasumber dalam diskusi tersebut memberikan arahan dan pandangannya tentang stigma masyarakat terhadap perempuan Sumba saat ini. Ia mengatakan munculnya pandangan negatif terhadap perempuan karena dipengaruhi oleh budaya patriarki, dimana konstruksi gender yang menganggap laki-laki kuat, perkasa, berani, pencari nafkah, produktif, bekerja di ruang publik berbeda dengan perempuan sifatnya emosional, lemah lembut, keibuan, sabar, lemah dan tidak berdaya. Dari adanya budaya patriarki ini terkadang menimbulkan terjadinya ketimpangan gender, ketidakadilan gender, dan relasi kuasa yang mengakibatkan kekerasan, eksploitasi, diskriminasi, marginalisasi, stigma dan penindasan. Dampak dari stigma negatif pada perempuan inilah yang membuat perempuan merasa minder, tidak percaya diri, menjadi tidak berdaya, adanya pembatasan pada ruang gerak perempuan serta meremehkan perempuan dan potensi dirinya.

Pada kesempatan ini, Indah Pratiwi, mahasiswa Unwina prodi matematika menanyakan bagaimana cara perempuan yang ingin merdeka melawan stigma yang ada dan bagaimana cara merangkul perempuan-perempuan di desa yang merasa terdiskriminasi. Pdt Suryaningsih merespon, ”Perempuan harus membangun kesadaran diri yang kritis dengan mengubah perspektif, menjadi perempuan yang aktif, produktif dan kreatif. Perempuan melawan stigma dengan cara memberdayakan diri, memiliki konsep diri yang jelas dan harus bersikap kritis terhadap budaya yang tidak adil gender. Ia juga menegaskan ketika bertemu dengan perempuan yang dikelilingi stigma masyarakat, maka cobalah membangun komunikasi yang setara, membangun lingkar persahabatan dengan mereka, merangkul dan mendengar cerita mereka tanpa menghakimi.”

Narasumber juga menegaskan anak muda dan perempuan harus berdaya di era revolusi industri 4.0. Perempuan harus melek teknologi, memiliki kreativitas, mampu bersinergi dan berkolaborasi agar memiliki daya juang dan daya saing yang tinggi. Hal ini bisa dilakukan dengan cara menggali potensi diri melalui akses pendidikan, percaya pada kekuatan diri dan menciptakan ruang pengembangan diri. Perempuan bisa menjadi role model dan pelopor perubahan. Narasumber memutar video tentang beberapa srikandi muda Sumba yang telah berkarya seperti Rahel, ketua kelompok wanita tani, memilki hutan cendana, aktif dalam pemberdayaan tingkat desa dan kecamatan. Asti Kula, mengadakan English Goes to Campus, Ampri Magi membangun sekolah alam Sumba, juga Elisabeth Uru Ndaya membentuk kelompok tenun dan aktif dalam pemberdayaan anak muda di desa dan kecamatan.

Di akhir diskusi, mahasiswa menuliskan kesan dan pesan mereka. Iwan, mahasiswa prodi Hukum menyatakan bahwa diskusi yang diikuti sangat menarik, menambah wawasan dan mengajarkannya bagaimana menghargai perempuan. Ia berharap ada diskusi terkait kekerasan dalam berpacaran. Ita, mahasiwa prodi Matematika merasa sangat termotivasi dengan adanya diskusi ini, membuatnya lebih percaya diri, dan ingin mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya. Perempuan pasti bisa! (EUD)***


Komentar