Oleh: Elizabeth Uru Ndaya, S.Pd.
Berbicara tentang perempuan maka kita berbicara tentang keberadaan dan perjuangannya. Ketika dalam keluarga representasi suara perempuan sangat minim atau bahkan tidak ada, hal itu cenderung dianggap wajar dan bukan sesuatu yang perlu dipersoalkan. Jika perempuan terus diam maka tidak akan ada perubahan, oleh karena itu perempuan harus bersuara dan menanggalkan semua ketakutan untuk menceritakan kisah dan pengalamannya. Seperti yang dialami oleh sebagian peserta kelompok perempuan tenun ikat Kawara Panamung, di desa Tanatuku. Ada bermacam-macam masalah yang mereka alami dalam rumah tangga mereka, baik itu kekerasan dalam rumah tangga, atau seringkali keberadaan mereka tidak dianggap baik sebagai istri atau anggota keluarga, mereka jarang dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Lalu apa tindakan mereka selama ini? Bungkam adalah pilihan mereka dengan alasan agar tidak memperpanjang masalah dan ancaman kekerasan.
Hal seperti inilah yang harus terus diperjuangkan,
penting sekali perempuan bersuara
dan mengekspresikan apa yang dirasakan untuk mendapatkan persamaan hak. Adanya
kelompok
perempuan ini menjadi
wadah bagi mereka untuk saling berbagi. Untuk itu multiplikator
program pemberdayaan perempuan Stube-HEMAT, mengajak kelompok perempuan yang
tengah menyelesaikan proses panyusunan benang tenun mengambil
waktu sharing kisah
mereka, dilanjutkan berdiskusi tentang isi buku karya Rachmi Larasati dan
Ratna Noviani yang berjudul Melintas Perbedaan-suara perempuan, agensi, dan politik
solidaritas (16/10/2021). Buku ini fokus pada gagasan para pemikir
perempuan dimana perempuan bisa dengan bebas berbagi pengalaman dan
pemikirannya, dan spectrum pemikiran perempuan mengenai problem sosial, budaya,
ekonomi maupun politik yang cenderung kurang terdengar, kurang dikenal dan juga
kurang dipahami posisionalitasnya dalam
kartografi pemikiran akademik.
Topik pertama yang dibahas pada pertemuan itu tentang konsumerisme, kemakmuran sejati, dan gaya hidup berkelanjutan oleh Juliet B. Schor, pemikir perempuan kritis dari Amerika Serikat yang memiliki perhatian pada dampak perilaku konsumtif, ketimpangan sosial, dan ketidakadilan gender. Hal yang paling banyak diperdebatkan oleh peserta kelompok tenun ialah membedakan mana yang benar-benar menjadi kebutuhan dan mana yang merupakan keinginan. Seperti kebanyakan orang membeli sesuatu bukan sekedar membeli fungsinya tetapi juga mengkonsumsi tanda sebagai pembeda sosial yang mengarah pada simbol kesuksesan. Ada yang mengatakan membeli sesuatu hanya karena tetangga memilikinya sehingga ikut-ikutan membeli. Ada yang mengatakan, tergiur mata untuk membeli meski bukan hal yang dibutuhkan. Juliet B. Schor mengungapkan bahwa tindakan konsumtif yang merebak itulah sumber pemborosan, hutang, aliensi terhadap komoditas, dan lain sebagainya.
Beberapa langkah konkrit dari Juliet B. Schor yang multiplikator bagikan ke peserta kelompok perempuan untuk membantu membuka pola pikir, wawasan dan pemahaman mereka, yaitu hak atas standard hidup yang layak, memahami perbedaan antara kebutuhan (need) dan keinginan (want), mengutamakan kualitas hidup dari pada kuantitas barang. Dari penjelasan itu semua peserta belajar untuk mengubah perilaku konsumtif mereka. Pada pertemuan selanjutnya kelompok perempuan Tanatuku akan terus dicerahkan dengan topik-topik lain dan akan lebih banyak belajar bagaimana memperjuangkan hak mereka sebagai perempuan.***
Komentar
Posting Komentar