Oleh: Elizabeth Uru Ndaya, S.Pd.
Masyarakat
Sumba memiliki kebiasaan atau tradisi menenun yang hingga saat ini menjadi daya
tarik pariwisata sekaligus mengembangkan perekonomian masyarakat setempat. Tenun
ikat juga merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kebudayaan. Lalu, apa sebenarnya
alasan orang Sumba menenun? Jawaban tersebut bisa dirujuk dari periode awal orang Sumba pertama kali
menenun sekitar tahun 1800-1900an hingga kini. Menurut pemerhati tenun ikat Sumba,
Jonathan Hani, ada tiga alasan
mengapa masyarakat Sumba menenun di setiap periode yang berbeda. Pertama, tenun merupakan bagian dari ritual persembahan syukur kepada
Tuhan, kedua, tenun menggambarkan status sosial masyarakat
Sumba, ketiga, tenun
untuk memenuhi kebutuhan dasar. Tiga alasan di atas menjadi faktor eksistensi kain tenun ikat Sumba hingga sekarang ini semakin mendunia. Kelompok tenun ikat Stube-HEMAT saat ini terus
bersemangat dalam menyelesaikan proses yang ada. Setiap Rabu, peserta berkumpul
dan bersama-sama menyelesaikan setiap proses dan masuk pada tahapan menenun.
Proses menenun yang telah peserta selesaikan yaitu, pertama, memisahkan setiap liran sebelumnya (saat pewarnaan) digabung jadi satu atau biara, kedua, membentangkan atau walah liran pada wanggi (struktur bambu) yang sebelumnya telah dipisahkan lewat proses biara dan merapikan posisi motif seperti ketika awal menggambar desain, ketiga, merapikan motif atau tidihu liran yang telah dibentangkan di wanggi dirapikan kembali posisi setiap ikatan agar membentuk motif yang sudah didesain sebelumnya, keempat, memisahkan tiap helaian benang yang masih melekat dengan menyelipkan sebilah bambu tipis yang berujung runcing di antara helaian benang dan diakhiri dengan diselipkannya sebilah bambu panjang sebagai alat bantu untuk membuat pawunang atau penentu, kelima, hawulur pamawang atau benang pakan yang juga sudah pewarnaan disiapkan dengan digulung pada sebilah tongkat yang dinamakan pamawang, keenam, Parabat atau proses dimasukkannya sebilah bambu tipis di sela-sela benang sebagai pertanda dimulainya proses menenun, ketujuh, menenun atau tinung, dan untuk menenun 1 liran atau hemba biasanya membutuhkan waktu 2 minggu (jika dikerjakan intensif) atau 4-5 minggu jika dikerjakan sewaktu-waktu.
Dari
sekian proses yang dilakukan, peserta kelompok tenun Stube-HEMAT merasakan dan mempelajari banyak hal
baru. Awalnya peserta
berpikir jika sudah selesai pewarnaan maka akan dengan mudah bisa langsung menenun, namun
ternyata masih ada
beberapa langkah lagi yang
harus diselesaikan sampai tahapan tenun. Ada kepuasan dan
kebahagiaan tersendiri bagi peserta ketika sudah menyelesaikan dengan baik tahapannya dan kini masuk pada
proses menenun. Walaupun sebagian dari peserta belum lihai menenun namun rasa keingintahuan
mereka sangat besar untuk masuk pada lingkaran alat tenun dan mencoba memulainya. May Nggiri, salah satu
peserta, mengaku bangga
sekali bisa menjadi bagian dari kelompok tenun karna pada akhirnya paham betul
cara kerja seorang penenun mulai dari tahapan menggulung benang hingga menenun.
Ia pun mencoba belajar menenun sarung hasil karyanya sendiri dengan penuh
percaya diri dan kehati-hatian. Senyum bahagia tersirat di wajahnya begitu pula
peserta lainnya.
Saat
ini mereka sedang ada dalam proses menenun. Tak kalah menarik, skill ini
akan dipadukan dengan pemahaman bisnis
kreatif dengan harapan memahami strategi dalam pengembangan tenun ikat ke depannya.***
Komentar
Posting Komentar