Oleh Elisabeth Uru Ndaya, S.Pd
Manusia baik individu mau pun kelompok tidak bisa
terpisahkan dengan identitas mereka sebagai makhluk yang berbudaya. Dalam
budaya itu sendiri terdapat sekumpulan sikap, keyakinan dan perilaku yang dikomunikasikan
dari generasi ke generasi dengan beberapa sarana yang dianut oleh setiap
masyarakat. Seni tenun adalah budaya tua
yang ditekuni manusia untuk menghasilkan busana juga merupakan peradaban yang hampir
merata ditemukan di seluruh pelosok bumi. Dari beragam kain tenun Indonesia
Timur, Nusa Tenggara Timur, Sumba merupakan salah satu pulau
penghasil kain tenun yang sangat terkenal akan keindahannya dengan beragam
desain motif. Oleh karna itu, untuk tetap menjaga kelestarian budaya maka perlu
ada warisan dan regenerasi yang diteruskan kepada anak muda sebagai generasi penerus.
Minggu, 09 Agustus 2020, Program Multiplikasi
Stube-HEMAT di Sumba mengadakan diskusi di gedung GKS Karunggu yang bertajuk
pada tema Menelisik Sejarah Tenun Ikat Sumba dengan menghadirkan belasan kaum
perempuan yang mempunyai kerinduan menggeluti dunia tenun. Narasumber yang dihadirkan adalah Marta
Harakay,
seorang pengrajin tenun dari Kalu, Kec. Kambera, Waingapu. Marta menceritakan bahwa masyarakat
mulai menggeluti tenun sejak abad ke-4 untuk menghasilkan kain penglapis badan. Dan saat itu bahan kain
tenun bukan dari benang melainkan dibentuk langsung dari kapas sampai menghasilkan
selembar kain tenun.
Setiap tahapan mulai dari ikat benang, pewarnaan hingga tenun harus dicermati dengan baik cara pembuatannya dan terkadang prosesnya menghabikan waktu 6 bulan hingga 3 tahun karena selain menenun dan membuat motif, ada sebuah tahapan dimana kain harus diangin-anginkan selama sebulan sebelum dicelup dalam minyak kemiri. Tahapan lain dalam pembuatan kain Sumba juga menguji kesabaran seperti menyimpannya dalam keranjang tertutup untuk mematangkan warnanya dengan harapan biarkan alam ikut campur agar kain menjadi lebih indah. Ia juga menjelaskan makna dari motif-motif yang terdapat pada kain tenun.
Peserta pun sangat antusias mendengar penjelasan dari narasumber. Dari semua yang hadir, ada 3 orang perempuan yang juga menggeluti tenun, memang tidak semua dari mereka bisa menenun. Dalam proses tahapannya ada yang hanya paham di bagian benang, ada yang hanya paham di bagian pewarnaan dan ada juga yang hanya bisa tenun tetapi tidak bisa melakukan tahap demi tahap. Lainnya malah tidak paham tentang tenun. Astry Banju menceritakan kisahnya, dia dikenal seorang pengrajin tenun tetapi sebenarnya tidak bisa menenun, hanya bisa di tahapan pewarnaan dan pengelompokan benang, selanjutnya ibu mertuanyalah yang menenun, karena setiap mencoba untuk menenun, hasilnya selalu tidak memuaskan.
Kisah berbeda dari Mama Ferdi, ia bisa melakukan semua hingga
menenun, namun kurang pengalaman dalam pewarnaan, dan hasilnya selalu kurang
bagus, sementara
Adriana Tanggu Hana punya kerinduan untuk menenun namun karena tidak ada
yang mengajarinya, akhirnya tidak bisa melakukan apa-apa. Ia pun berharap
dengan adanya program ini,
ke depannya ia dapat belajar menenun. Dari beberapa pengalaman
peserta di atas, memberi
pemahaman baru bahwa untuk menggeluti tenun harus melalui proses
yang panjang dan tekun.
Hal ini membuka peluang bagi mereka untuk saling berkolaborasi, saling belajar
dan bertukar pengalaman.
Marta Harakay yang sudah ahli dalam
menenun memberi semangat
kepada peserta bahwa
belajar tenun memang tidak mudah, namun dengan tekad dan kemauan yang kuat pasti bisa. Tak lupa ia memberikan
trik bagaimana cara menenun yang baik agar mendapatkan hasil yang bagus seperti memperhatikan posisi duduk, postur tubuh yang sesuai, ikatan
belakang harus kencang dan posisi tendangan kaki ke alat tenun harus kuat.
Begitu juga dengan pewarnaan, harus memperhatikan bahan-bahan yang dicampur dan
perpaduan warna agar menghasilkan warna yang cantik.
Di akhir diskusi, peserta membentuk kelompok tenun yang dinamakan kelompok Kawara Panamung yang dalam bahasa Indonesia artinya “saling merangkul”. Setelah itu, peserta menuliskan di kertas metaplan sebagai pesan dan harapan mereka untuk kemajuan komunitas yang sudah mereka bentuk. Harapannya semoga dengan terbentuknya kelompok tenun ini dapat membantu para kaum perempuan untuk terus berkreasi dan menghasilkan kain-kain tenun bagus yang merupakan tenun khas Makamenggit, yang pada akhirnya dapat membantu perekonomian kaum perempuan di sini. Langkah selanjutnya adalah kunjungan ke salah satu kampung tenun untuk melihat langsung dan belajar hal baru mengenai tenun.***
Komentar
Posting Komentar