Oleh Kristiani Pedi
Pemahaman
bahwa pertanian tidak prospektif ini sempat saya miliki, karena sudah menjadi
kegiatan sehari-hari kami, penduduk di Sumba, maka bertani bukan suatu yang
istimewa dan prospektif di tengah era modern yang serba
instan seperti saat ini. Namun pemahaman ini berubah setelah
saya mengikuti pelatihan Stube-HEMAT Sumba dengan topik-topik yang berkaitan
dengan kehidupan anak muda Sumba. Apalagi di tahun 2019 tepatnya bulan September saya mendapat
kesempatan menjadi peserta program Eksposur Stube-HEMAT Yogyakarta. Di sana
saya belajar berbagai hal yang menambah pengetahuan dan pengalaman, seperti
jurnalistik, fotografi, kruistik dan pertanian. Pembelajaran tentang pemetaan
potensi pertanian membuka mata saya tentang pemanfaatan lahan tidur dan
tingginya permintaan pasar akan sayuran.
Setibanya di Sumba,
sebagai ketua komunitas, saya bertanggung jawab membagikan hal-hal yang
inspiratif dan pengalaman belajar di Stube HEMAT bagi anggota komunitas Ana
Tana. Informasi data dari BPS Kabupaten Sumba Timur tahun 2019 menggambarkan
bahwa luasan lahan sawah ditinjau dari frekuensi penanaman tanaman pangan di
kecamatan Pandawai, terdapat 1.208 ha yang terdiri dari 941 ha hanya bisa satu
kali tanam padi, 112 ha bisa dua kali tanam padi dan 75 ha tanaman selain padi.
Selain itu ada 80 ha lahan sawah yang dibiarkan menganggur. Kondisi sawah yang
menganggur ini menjadi peluang bagi anak muda untuk budidaya
sayuran guna mencukupi kebutuhan rumah tangga dan suplai permintaan pasar
sekitar.
Akhirnya, komunitas
membentuk kelompok kecil pertanian yang terdiri dari anak-anak dan remaja usia
7-14 tahun dengan nama Pertanian Ana Tana Junior yang beranggotakan 10 orang. Awal
Januari 2020 kami mulai menggarap lahan di belakang rumah di Kawangu, Sumba
Timur sebagai lahan pertanian dan menanam berbagai sayuran yang benihnya saya
dapatkan dari Stube-HEMAT Yogyakarta, seperti sawi, kangkung, lombok, kacang
panjang, bayam, tomat, terong, jagung dan singkong. Kendala yang dihadapi saat
memulai adalah hama tanaman, cuaca yang kurang bersahabat dan keraguan orang
tua terhadap kami. Tapi semua ini tidak mengurangi semangat anggota, bahkan
termotivasi belajar membuat pembasmi hama berbahan alami bersama Bapak Martinus
Ndapangadung, pembina pertanian yang mendampingi kami bertani secara organik
memanfaatkan pupuk kandang dan pupuk daun.
Saat ini mereka sudah memanen
hasil sayurnya, selain untuk memenuhi kebutuhan konsumsi pribadi, kami juga
menjualnya ke pasar dan beberapa warung sayur terdekat. Hasil dari penjualan
sayur dibagi rata untuk mendukung kebutuhan sekolah anggota komunitas. Dalam
menjalani profesi ini kami memiliki prinsip ’sukses kami ditentukan oleh diri sendiri, kalau bukan sekarang, kapan
lagi? dan kalau bukan kita, siapa lagi?’ Untuk itu anak muda, janganlah
menunggu sampai tua baru menjadi petani. Kalau bisa mulai dari sekarang, kenapa
tidak? Jadilah anak muda petani yang berhasil dengan memanfaatkan perkembangan
teknologi untuk menambah pengetahuan tentang pengolahan tanah, pemeliharaan tanaman
dan pemasaran hasil panen demi peningkatan kehidupan masyarakat Sumba.
(Kristiani Pedi)
Komentar
Posting Komentar