
Bernadus Zakarias Weni Liwang, sebagai mahasiswa semester tujuh
Pendidikan Agama Kristen di Sekolah Tinggi Gereja Kristen Sumba di Lewa Sumba Timur,
ia tergerak untuk ikut ambil bagian dalam pengembangan sumber daya manusia,
khususnya anak-anak dan remaja di kampung halamannya di Lewa Paku, kecamatan Lewa, Sumba Timur. Ia merancang
pendampingan
anak-anak dan remaja berupa kursus Bahasa Inggris di Pingailuri, salah satu gereja cabang
dari GKS
Pametikarata, Lewa. Kegiatan ini dilakukan empat kali seminggu, Minggu, Selasa,
Kamis dan Sabtu pada jam 16.00-18.00 selama Oktober-November di gereja setempat.
Belasan
anak dan remaja usia SD dan SMP antusias belajar bahasa Inggris karena kegiatan
seperti ini jarang mereka dapatkan di desanya. Mereka mempelajari kosakata
sederhana seperti abjad, angka, nama hari, bulan dan tahun, mereka juga membaca
teks pendek. Selanjutnya mereka mempraktekkan pengucapannya di depan peserta
lainnya. Metode ini akan memperkuat rasa percaya diri peserta selain penguasaan
kata-kata dalam bahasa inggris itu sendiri. Bahkan mereka ingin tidak saja
bahasa Inggris tetapi pelajaran lainnya, jadi Bernad membuka peluang bagi teman-temannya
menjadi fasilitator anak-anak dan remaja belajar pelajaran lainnya.

Pada
bulan November 2019, ia bersama penduduk
desa
Pepuwatu, kecamatan Nggaha Ori Angu, Kabupaten Sumba Timur berkumpul di
Rawa Madap, termasuk perangkat dusun setempat, Giling Kawara Konda dan Yunus
Ngamba Handa Mbewa untuk mempraktekkan pembuatan pupuk bokashi baik padat dan cair. Bahan dasar
yang digunakan adalah air sumur, gula nira cair, em4, bekatul (pau) dan kotoran
hewan (ayam, kambing, kuda). Bahan tersebut dicampurkan dan diaduk perlahan
dalam sebuah drum plastik dan ditutup, setiap hari dibuka, diaduk perlahan dan
ditutup kembali sampai satu minggu menjadi siap pakai.
Julian Huki Pahawali, dari desa Praikarang, Sumba Timur dan
kuliah di Universitas
Kristen Wira Wacana Waingapu jurusan Agribisnis. Ia bersemangat mendampingi anak-anak di SD paralel
Mbinudita kecamatan Nggaha Ori Angu dan bersama warga mempersiapkan kegiatan pembangunan ruangan kelas
di
sekolah tersebut.
Keberadaan
SD Paralel Mbinudita sendiri merupakan respon masyarakat desa setempat atas
jarak yang jauh antara rumah penduduk dengan fasilitas pendidikan dasar yang
terdekat, karena SD terdekat berada 5-6 kilometer dari desa mereka sehingga
cukup berat untuk anak kelas satu dan dua untuk berjalan kaki ke sekolah setiap
hari. Tahun lalu masyarakat membangun ruang belajar sementara dengan rangka
kayu, dinding bambu dan atap alang-alang, sehingga perlu penambahan ruang kelas
baru untuk memfasilitasi anak-anak belajar. Konsekuensi dari sekolah ini adalah
keterbatasan fasilitas mengajar dan ketiadaan guru tetap untuk mengajar. Julian
sebagai anak muda dan mahasiswa dari kampung setempat tergerak untuk mengisi
waktunya di sela-sela waktu kuliah untuk mendampingi belajar di SD tersebut.
Kiprah
para anak muda ini perlu mendapat apresiasi, sekalipun dalam lingkup kecil di
desa tetapi memberikan dampak positif untuk masyarakat dan desa setempat. Ini
menjadi impian bersama jika setiap mahasiswa Indonesia memiliki perhatian
terhadap desanya. Indonesia dengan 83.931 wilayah pemerintahan setingkat desa (BPS 2018)
memanggil orang-orang terdidik untuk membuat desa terus berbenah dan menarik
minat penduduknya untuk tinggal dan bekerja sehingga desa berkembang dan kesejahteraan
masyarakat terwujud. (TRU).
Komentar
Posting Komentar