Oleh Vebiati Lende
'Perempuan tidak usah sekolah, perempuan tugasnya hanya kerja
di dapur, sawah dan kebun, jadi buat apa sekolah tinggi-tinggi”. Itu kata-kata yang sering papa ucapkan
ketika anak-anak perempuannya punya keinginan untuk melanjutkan sekolah,
sebagaimana yang juga saya alami.
Saya, Vebiati Lende, dari
Mareda Kalada, Sumba Barat Daya. Sejak SMA saya ingin melanjutkan kuliah dan
saya menyampaikan ke mama. Ternyata mama sangat mendukung keinginan saya
tersebut. Saat saya kelas 2 SMA, mama saya sakit, berulang kali ke rumah sakit dan
tak kunjung sembuh bahkan penyakitnya tidak bisa disembuhkan. Tahun 2014 mama,
orang yang saya cintai pergi untuk selamanya, dan saya sangat syok karena seseorang yang mendukung saya
untuk melanjutkan studi pergi untuk selamanya. Saya berpikir harapan saya sudah
sirna dan percuma ingin sekolah tinggi tapi tidak ada yang mendukung. Tahun
2015 saya lulus SMA dan saya berniat untuk kerja ke luar daerah karena sebagian
anak muda di daerah saya juga memilih untuk langsung bekerja ke luar daerah.
Suatu ketika saya bertemu
dengan teman di Pusat Pengembangan Anak (PPA), ia mendapat beasiswa kuliah,
kemudian saya menitipkan pesan apakah ia bisa menyampaikan kepada donatur kalau
saya juga ingin mendapat beasiswa untuk kuliah. Saya berpikir permohonan saya
tidak terjawab, tetapi dalam suatu pertemuan PPA yang saya ikuti, ternyata,
harapan yang saya pikir sudah hilang akhirnya terjawab, saya tidak pernah
membayangkan mendapat donatur untuk kuliah. Perasaan saya campur aduk, di satu
sisi sangat senang dan ingin menyampaikan kabar ini ke keluarga, tetapi di sisi
lain papa tidak mengijinkan saya kuliah. Ini menjadi awal perjuangan saya.
Saya berbicara dengan papa
dan benar, ia sama sekali tidak setuju. Ia mengatakan kalau kamu kuliah ke
sana, siapa yang memberi kamu uang makan, uang kos, dan biaya lainnya. Saya
down, karena saya sudah mencari jalan
untuk kuliah dan mendapatkannya, tapi papa tidak mendukung. Beberapa hari saya mengunci
diri dalam kamar tetapi saya berdoa dan merenungkan kembali perjuangan mama menyekolahkan
saya dari SD sampai lulus SMA. Dalam hati saya berkata, "jika hanya
berdiam diri dan meratapi nasib, aku akan seperti ini terus dan tidak
menghasilkan apa-apa. Nanti kalau aku berumahtangga hanya menjadi pembantu di
rumah suami. Aku tidak mau, aku harus mandiri.” Ini menjadi kekuatan saya untuk
tetap mendaftar kuliah.
Saya sadar kalau papa
tidak setuju, jadi saya sengaja berangkat sebelum matahari terbit supaya ia tidak
mengetahuinya, berjalan kaki dari rumah menuju jalan besar untuk menumpang bus
dari Sumba Barat Daya menuju Lewa di Sumba Timur. Saya mendaftar sebagai mahasiswa
STT GKS di Lewa dengan beasiswa dari PPA dan uang kost dari kakak saya. Bagi
saya kuliah adalah perjuangan karena saya harus mencukupkan diri dengan uang yang
ada untuk tugas kuliah dan makan. Selain kuliah saya juga aktif di kegiatan kampus,
gereja dan organisasi untuk menambah pengalaman. Saat semester 5 saya mendapat mujizat
Tuhan saat papa mengatakan bahwa setelah melihat tekad saya kuliah selama ini,
akhirnya papa mendukung kuliah saya, bahkan ia rajin kembali ke gereja. Betapa
Tuhan menjawab doa-doa saya.
Perjalanan hidup setiap orang itu tidak sama, perjuangan saya bisa kuliah tidak saja untuk lanjut studi tapi perjuangan kaum perempuan Sumba untuk mendapat kesempatan pendidikan yang lebih tinggi untuk kehidupan yang lebih baik, bagi diri sendiri, keluarga dan masyarakat Sumba. Untuk kaum perempuan yang sedang berjuang, tetaplah setia, jangan menyerah, perbanyak relasi dan tekun berdoa, karena kita tidak tahu jawaban Tuhan untuk hidup kita dan waktu kita berbeda dengan waktu Tuhan. Berjuanglah sungguh-sungguh dan raih impianmu.
Komentar
Posting Komentar