Program Eksposur Yogyakarta
Tuhan selalu dekat dan tahu kebutuhan anak-anaknya. Mimpi
ketiga anak muda Sumba, Vebiati Lende, Kristiani Pedi dan Naomi Mora Kalak untuk
bisa ke Yogyakarta, akhirnya menjadi kenyataan. Yogyakarta yang berada di pulau
Jawa menjadi magnet tersendiri bagi anak muda di penjuru Indonesia untuk datang
ke kota ini. Namun demikian, tidak banyak pelajar dan mahasiswa memiliki
kesempatan dan mampu mewujudkan harapan studi di kota ini karena berbagai hal,
terutama ekonomi.
Program Exposure ke Stube-HEMAT Yogyakarta merupakan
salah satu program Stube-HEMAT Sumba yang memberi kesempatan mahasiswa Sumba yang
belum pernah ke Yogyakarta untuk belajar dan beraktivitas di Stube-HEMAT
Yogyakarta selama kurang lebih tiga minggu efektif di bulan Oktober 2019. Kesempatan mengunjungi
tempat lain, berinteraksi dengan orang-orang yang memiliki latar belakang
budaya dan bahasa yang berbeda atau memiliki cara hidup yang berbeda akan
memperkaya peserta dalam memahami manusia dan kehidupan.


Tiga anak muda yang mendapat kesempatan belajar di Yogyakarta adalah Vebiati Lende (mahasiswa Sekolah Tinggi Teologi GKS); Naomi Mora Kalak (mahasiswa Sekolah Tinggi Teologi Terpadu); dan Kristiani Pedi (aktivis gereja dan komunitas pemuda Sumba). Selama di Yogyakarta mereka mendalami visi dan misi Stube-HEMAT dan keberpihakan pada generasi muda, mengasah kemampuan kritis melalui Jurnalistik, diskusi Sustainable Development Goals (SDGs) dan seminar homoseksualitas. Berkaitan dengan SDGs, sebagai kesepakatan global untuk mencapai tujuan pembangunan dunia demi kesejahteraan masyarakat dan kelestarian alam yang diwujudkan dalam 17 indikator, Naomi tertarik pada topik ketersediaan air bersih karena air bersih belum dapat dirasakan setiap penduduk di Sumba; sementara Vebi memberi perhatian pada kasus stunting yang dialami anak-anak Sumba; sedangkan Kristiani fokus pada pendidikan karena Sumba masih menghadapi tantangan untuk kualitas pengajar, sebaran sekolah yang belum merata di setiap kecamatan, dan kesempatan pendidikan bagi perempuan Sumba.
Sebagai
pembelajaran konteks Sumba yang memiliki kawasan pertanian, peserta berdiskusi
tentang sayuran, khususnya sawi, tomat ceri, selada hijau, dan buah di kebun
Kuncup dan melihat sistem pertanian hidroponik dan aquaponik di Indmira.
Aktivitas ini berlanjut dengan mengolah pangan lokal dari tepung beras ketan hitam
diolah menjadi roti kukus, jagung menjadi puding, labu kuning menjadi talam dan
sukun menjadi keripik.
Selain itu, kruisteek
atau seni jahit silang menjadi salah satu materi untuk mengenal berbagai kerajinan
tangan, diperkaya dengan batik tulis yang memakai teknik colet sampai ecoprint yang memanfatkan daun-daun untuk
mencetak motif di kain. Tak ketinggalan, seni merangkai manik-manik, muti, benang,
kawat dan asesoris lain menjadi kalung, gelang dan bando, yang akan dipasarkan
di Sumba, menjadi bekal ketrampilan bagi
para peserta. Fotografi dan seluk-beluknya seperti teknik memotret, pengambilan
sudut (angle), kecepatan dan pencahayaan,
menjadi bekal peserta untuk mendukung saat mereka ingin melakukan branding produk. Ditambah lagi mengikuti
pelatihan Stube-HEMAT Yogyakarta tentang Belajar
dari Kegagalan, membuka pemikiran peserta memaknai kegagalan dan bagaimana
membuat strategi hidup yang tidak pantang menyerah.
Kunjungan ke candi Borobudur, pengalaman naik kereta api,
dan berjalan menyusuri sumbu filosofis kota Yogyakarta menambah lengkap
pemahaman mereka atas kehidupan lain di luar Pulau Sumba. Di akhir program peserta
merancang tindak lanjut apa yang akan dilakukan di Sumba, seperti membagikan pengalaman
dan pengetahuan kepada teman-teman di Stube-HEMAT Sumba, mereka juga membuat kerajinan
tangan, mengolah pangan lokal menjadi makanan layak jual dan menggerakkan anak
muda gereja memanfaatkan lahan kosong untuk menanam sayuran. Dari Jogja untuk Sumba, terus bergerak dan
berdinamika! (TRU).
Komentar
Posting Komentar