Pendidikan adalah salah
satu sarana untuk meningkatkan kualitas kehidupan manusia, bahkan pendidikan
menjadi salah satu indikator capaian dalam Sustainable Development Goals (SDGs)
2010. Dunia pendidikan tidak hanya berbicara tentang sekolah, tetapi juga cara
didik yang diterapkan pada anak-anak, baik di rumah, sekolah maupun masyarakat
yang menjadi tanggung jawab bersama. Indonesia sebagai negara kepulauan dengan
populasi lebih dari 254 juta jiwa memiliki banyak tantangan untuk mendidik
penduduknya dengan fasilitas dan pengajar yang berkualitas di setiap daerah.
Harus diakui bahwa kualitas pendidikan di pulau-pulau terluar masih
memprihatinkan karena keterbatasan guru dan fasilitas.
Sumba sebagai salah satu pulau terluar di Indonesia, memiliki kondisi keterbatasan serupa sehingga terjadi berkurangnya minat anak melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, khususnya perempuan, dengan alasan ekonomi dan alasan lainnya. Kabupaten Sumba Timur sendiri membutuhkan peningkatan kuantitas dan kualitas layanan pendidikan demi menjawab kebutuhan masyarakat. Data sebaran sekolah menunjukkan bahwa dari 22 kecamatan di Kabupaten Sumba Timur, 11 kecamatan belum memiliki TK dan 5 kecamatan belum memiliki SMA/SMK. Data partisipasi sekolah usia 7-24 tahun menunjukkan 27% penduduk atau sekitar 21 ribu penduduk tidak melanjutkan sekolah dan sebagian besar perempuan (Sumba Timur dalam Angka, BPS Sumba Timur, 2018). Ini menjadi tantangan besar kabupaten Sumba Timur untuk menyediakan layanan pendidikan untuk masyarakat dan memastikan kelanjutan studi penduduknya.
Situasi ini mendorong
Stube-HEMAT Sumba, lembaga pendampingan mahasiswa dan pemuda gereja di Sumba
mengadakan pelatihan Pendidikan dengan tema “Ada Apa Dengan Dunia Pendidikan di
Sumba?” di gedung GKS Umamapu cabang Okanggapi (13-15/09/19). Tigapuluh dua mahasiswa
dari kampus dan komunitas di Sumba Timur, seperti Ukriswina, STT Terpadu, STT
GKS, Akper, IKPML dan Ana Tana antusias mengikuti pelatihan untuk mengetahui
masalah pendidikan di Sumba dan analisanya, memformulasikan aktivitas untuk
mempromosikan pendidikan di desa terpencil, menghubungkan para stakeholder di bidang pendidikan, menemukan informasi untuk mengakses beasiswa dan pendidikan
non-formal atau strategi menangani masalah pendidikan di Sumba.
Oscar A. Djara, praktisi
di Yayasan Adjarmanu, lembaga yang fokus pada pendidikan di Waingapu Sumba
Timur, memaparkan tantangan dan hambatan dalam mengelolah dunia pendidikan di Sumba
terutama daerah pedalaman yang sulit dijangkau, lokasi sekolah jauh dari
kawasan rumah penduduk, kurangnya alat transportasi ke sekolah dan kurangnya
tenaga pengajar Strata 1 yang berkomitmen untuk mengajar. Pada umumnya tenaga
pengajar cenderung memilih mengajar di kota yang menawarkan gaji lebih tinggi, sementara
kesadaran masyarakat atas pentingnya pendidikan masih rendah.
“Ini harus disadari benar oleh anak muda agar generasi berikutnya tidak memiliki cara pandang yang salah terhadap pendidikan, masyarakat berpikir bahwa pendidikan hanya untuk mereka yang mampu secara ekonomi, dan ini menyebabkan banyak anak putus sekolah. Ubah cara pandang seperti ini. Semua harus sekolah,” tegasnya.
“Ini harus disadari benar oleh anak muda agar generasi berikutnya tidak memiliki cara pandang yang salah terhadap pendidikan, masyarakat berpikir bahwa pendidikan hanya untuk mereka yang mampu secara ekonomi, dan ini menyebabkan banyak anak putus sekolah. Ubah cara pandang seperti ini. Semua harus sekolah,” tegasnya.
Yusuf Waluwanja, M.Si,
Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Sumba Timur menyampaikan materi-materi gambaran
dunia pendidikan di Sumba Timur dan langkah strategis pemerintah dalam
mengatasi permasalahan sarana pendidikan dan tenaga kependidikan. Ia mengungkapkan
cara pemerintah meningkatan kualitas pendidikan di pedalaman Sumba, yakni
dengan membangun sekolah, seperti membuka sekolah paralel dan pelatihan guru
melalui diklat.
Sebagai terobosan
mengatasi masalah pendidikan di Sumba, pengelola Taman Baca Hamu Wangu, Ferlyn
Paramba dihadirkan dalam pelatihan ini dengan topik membangun dunia membaca
untuk membangun insan yang cerdas. Kehadiran taman baca membantu pengembangan
anak usia dini dan memberikan mereka pemahaman tentang dunia pendidikan secara
lembut dan ramah supaya anak-anak muda mengerti dan tidak canggung dalam
belajar. “Anak muda mahasiswa jika terjun sebagai pengajar harus cerdas dan
kreatif dalam mengajar, agar anak-anak tidak bosan,” tuturnya.
Salah satu peserta
pelatihan, Kristiani Pedi mengungkapkan pengalaman mendampingi belajar
anak-anak, “Karena saya memiliki perhatian terhadap anak-anak usia dini, maka saya juga
belajar. Saya menemukan karakter anak yang berbeda-beda, sehingga dalam
pelatihan ini saya tergerak untuk membentuk kelompok belajar untuk anak,
khususnya karakter, karena hal-hal baik yang dipelajari sekarang akan bermanfaat
bagi mereka di masa depan,” ungkapnya.
Pemuda dan pengajar dituntut
memahami pendidikan dan strategi yang tepat digunakan dalam mendidik terutama
anak-anak di usia dini. Selanjutnya diharapkan menjadi penggerak dunia
pendidikan terutama di daerah pedalaman dan bisa menjadi teladan bagi murid-muridnya, generasi yang
akan menjadi tulang punggung negeri ini. (Naomi, Vebiati, Ina).
Komentar
Posting Komentar