Anak muda dan pariwisata
Bagai dua sisi mata uang
Setiap daerah memiliki
keunikan masing-masing yang menjadi daya tarik khas suatu daerah.
Keunikan-keunikan itu terlihat dari alam, pemandangan, arsitektur, bangunan dan
peninggalan sejarah dan budaya di setiap daerah yang memiliki bentuk dan
ornamen yang berbeda satu sama lain. Penting bagi anak muda untuk mengenal dan
memahami peninggalan sejarah dan budaya daerahnya, khususnya Sumba yang sedang
mulai berkembang pariwisatanya.
Sebagai lanjutan program Warisan
Budaya: Inventarisir Peninggalan Budaya, Stube-HEMAT Sumba memfasilitasi anak
muda dan mahasiswa Sumba untuk mengunjungi museum kabupaten Sumba Timur pada
hari Sabtu, 8 Desember 2018. Dalam kunjungan ke museum, peserta mengamati
setiap benda-benda koleksi museum dinas pariwisata kabupaten Sumba Timur.
Benda-benda itu antara lain ‘hinggi’ (kain tenun tradisional), ‘ngohung’
(lesung), ‘tanga watil’ (tempat sirih pinang), ‘kalumbut’ (wadah sirih pinang
untuk laki laki), parang, ‘jungga’ (gitar tradisional), ‘makka’ (gasing), ‘lamba’
(tambur), gong, ‘mamuli’ (mahar pernikahan) dan benda-benda lainnya.
Umbu Kura Lena,
narasumber museum menyampaikan bahwa pemerintah provinsi NTT mengkampanyekan pariwisata
sebagai sektor unggulan untuk menggerakkan sektor lain maka berbagai pihak
mesti berperan aktif, terlebih anak muda dan mahasiswa yang memiliki semangat
dan ide-ide segar. Mereka
diharapkan menjadi para pelaku dibidang pariwisata.
Menanggapi paparan
tersebut, Apriyanto Hangga, salah satu team Stube-HEMAT Sumba, mengungkapkan
harapannya supaya museum melengkapi koleksi yang ada karena koleksi di sini
belum ada 50 % dari warisan budaya dan sejarah Sumba. Ia menyebutkan beberapa
benda, seperti ‘katoda’ (batu tempat berdoa penganut ‘Marapu’ (kepercayaan
lokal Sumba), barang-barang perhiasan gelang, cincin, guci, mahkota raja,
tombak sebagai alat berburu dan lain sebagainya. Ia mengkritisi kalau pemerintah setempat lambat dalam mendirikan museum
dan kesulitan mengumpulkan koleksi karena tak sedikit benda-benda peninggalan sejarah
dan budaya Sumba yang sudah banyak dijual ke luar pulau Sumba, bahkan ke luar
negeri.
Sepritus Tangaru Mahamu,
salah satu peserta, mahasiswa AKN Waingapu, menyampaikan rasa senangnya karena
bisa melihat peninggalan sejarah budaya secara langsung di museum ini.
Sebelumnya ia hanya mendengar cerita tentang alat musik tradisonal seperti ‘djungga’
atau gitar. Ternyata ia tidak sendiri, masih banyak anak muda yang belum pernah
melihat alat musik tersebut, apalagi memainkannya. Keberadaan djungga kalah
populer dengan gitar modern yang memiliki nada lebih variatif. Saat ini ia merintis
usaha menjual makanan khas Sumba seperti ‘kaparak’ dan selendang Sumba. Meskipun
kecil ia yakin ini sebagai langkah maju sebagai pemuda pelaku pariwisata Sumba.
Di akhir kunjungan peserta
mengadakan refleksi dan mendata tempat-tempat wisata berbasis alam yang ada di
Sumba. Selain itu, mereka akan menulis cerita dan deskripsi berkaitan
tempat-tempat yang ditulis tersebut sebagai media promosi pariwisata. Anak muda sebagai generasi penerus daerah ini perlu jeli melihat peluang pariwisata dan menjadi
inisiator untuk mengembangkannya,
bahkan sektor ini bisa menjadi alternatif pekerjaan sebagai wirausahawan pariwisata dan membuka peluang kerja
bagi orang lain. (JUF)
Komentar
Posting Komentar