Sebuah keinginan yang lama terpendam akhirnya terwujud ketika saya mengunjungi kampung Tambera yang terletak di desa Doka Kaka, kecamatan Loli, kabupaten Sumba Barat ketika mengikuti acara festival Wai Humba VI tahun 2017. Wai Humba sendiri adalah sebuah acara yang bertujuan mengingatkan hubungan manusia dan Sang Pencipta yang diwujudkan dalam kepedulian terhadap alam dan lingkungan. Saat itu festival Wai Humba menakati tema ‘Kami Bukan Humba yang Menuju Kemusnahan.
Perjalanan dari Waingapu, ibukota kabupaten
Sumba Timur menuju kampung Tambera membutuhkan waktu sekitar tiga jam
menggunakan oto atau motor. Namun kendaraan tidak bisa menjangkau sampai
halaman kampung ini karena ada anak tangga berjumlah sekitar 20 anak tangga
untuk naik sampai ke halaman kampung. Untuk masuk ke kampung ini saya harus
berjalan kaki dari kantor desa hingga mencapai jalan mendaki karena kampung ini
berada di puncak bukit dan dikelilingi pepohonan yang rimbun.
Halaman kampung ini bertingkat-tingkat karena menyesuaikan
permukaan tanah dan tidak rata karena ada batu-batuan besar maupun kecil
tersebar di sekitar kampung. Rumah-rumah adat terletak di bagian tepi dan bertangga-tangga
dari gerbang masuk hingga ke ujung kampung. Tiang dan balai-balai rumah kebanyakan
menggunakan kayu hutan yang bulat. Di tengah halaman terdapat kubur batu yang
bentuknya bervariasi pula, ada yang bulat, memanjang dan persegi.
Saya merasakan suasana berbeda ketika berada
di kampung ini seperti udara yang sejuk, dikelilingi banyak pohon, masyarakat di
kampung ini ramah dan bersahabat yang mencerminkan hidup yang tenang dan
tenteram. Pengunjung diharapkan menjaga sikap selama berada di kampung ini dan
saya pun harus menjaga mulut supaya tidak mengeluarkan kata-kata yang tidak
berkenan di hati rato (kepala kampung
adat) karena adat di kampung ini masih sangat kental.
Kampung ini merupakan kampung Ina (ibu)-Ama
(bapak) atau kampung adat utama suku Loli, sekaligus pusat pelaksanaan ritual Wulla
Poddu, sebuah ritual suci penganut Marapu, kepercayaan tradisional penduduk
asli Sumba. Ritual ini dilakukan selama sebulan penuh.
Keunikan lain yang saya temukan di kampung ini
antara lain, penghuni tidak boleh menggunakan bahan perasa ketika memasak makanan
dan hanya boleh menggunakan daun kemangi atau sejenisnya yang berbahan alami
untuk membuat bumbu makanan, bahkan garam pun tidak boleh digunakan, meskipun
demikian masakan tetap terasa nikmat ketika dimakan. Namun bukan berarti penduduk
kampung Tambera tidak menggunakan garam, karena penduduk yang tinggal dalam
kampung ini, hanya orang tertentu saja yang mendiami atau menjaga kampung ini.
Saya bersyukur bisa mengunjungi kampung Tambera dan kagum dengan
keberadaan bangunan rumah yang tua tetapi terawat. Di sini saya belajar
bagaimana berjuang mencapai tujuan, menyatu dalam alam dan menghargai adat
istidat yang telah berlangsung ratusan tahun sampai saat ini. (Apronia Dai Duka).
Komentar
Posting Komentar