Isu
Hak Asasi Manusia (HAM) dan Kesetaraan Gender merupakan topik permasalahan yang
terus ada baik di skala internasional maupun nasional baik kekerasan fisik, seksual, atau psikis dan kekerasan ekonomi. Provinsi NTT berada di urutan 5 dari 34 provinsi di Indonesia dalam kasus kekerasan
seksual terhadap perempuan dan anak-anak di tahun 2015. Sumba,
sebagai daerah yang dikenal kental struktur budayanya, perbedaan kedudukan laki-laki
dan perempuan masih terjadi sampai saat ini. Perempuan dinomorduakan, dianggap
kaum lemah, cukup berada di rumah, tidak terlibat dalam pengambilan keputusan,
sehingga mereka rentan mendapat perlakuan
kekerasan.
Pelatihan HAM
dan Kesetaraan Gender bertema ”Perempuan
dan Permasalahan HAM di Sumba’’ yang digagas Stube-HEMAT Sumba, merupakan
salah satu usaha untuk mengupas permasalahan tersebut. Pelatihan yang
diselenggarakan pada tanggal 23-25
Februari 2018 di GKS Umamapu cabang Okanggapi, Londalima, Kanatang, Sumba Timur, ini diikuti tiga puluh mahasiswa utusan kampus STT
GKS Lewa, STT Terpadu, Unkriswina Sumba, Ana Humba Community dan Prodi
Keperawatan Waingapu.
Beberapa
narasumber diundang untuk memfasilitasi pelatihan tersebut, antara lain, Y. Djami Yiwa, budayawan, membahas
tentang HAM dan Kesetaraan Gender ditinjau dari budaya Sumba. Budaya Sumba
sebenarnya merupakan hasil musyawarah para leluhur untuk
mengatur kehidupan masyarakat Sumba.
Ada beberapa aturan yang masih berlaku,
seperti strata sosial masyarakat, musyawarah para leluhur, pembagian tugas adat
dan hukum adat, serta pandangan hidup masyarakat Sumba. Kesetaraan gender
di kehidupan masyarakat Sumba nampak saat upacara keagamaan, yang mana ada
pembagian tugas laki-laki yang melaksanakan upacara sedangkan perempuan
menyiapkan alat dan bahan, hal yang sama untuk upacara perkawinan, bercocok
tanam dan peternakan.
Ana
Djara dari Lembaga Perlindungan Anak (LPA) menjelaskan implementasi Undang-undang
Perlindungan Anak dan Perempuan di Sumba Timur. Ia mengatakan bahwa perempuan dan anak merupakan aset bangsa yang
harus dilindungi dari segala bentuk tindak kekerasan, jadi pelaku kekerasan akan dipidana sesuai
ketentuan yang berlaku. Diharapkan semua elemen
masyarakat, termasuk anak muda dan mahasiswa menjadi garda terdepan untuk memperjuangkan hak-hak
perempuan dan anak.
Wanja Wairundi,
kepala dinas Lembaga Pemberdayaan Perempuan dan KB kabupaten Sumba Timur mengungkapkan kasus-kasus
yang ditangani menunjukkan bahwa korban kasus pelecehan seksual adalah anak di
bawah umur. Pemerintah berusaha mengatasi kekerasan terhadap perempuan dan anak
melalui, 1) sosialisasi kepada masyarakat untuk bersama-sama mencegah tindak
kekerasan terhadap perempuan dan anak, serta hukuman bagi pelaku, 2) pendampingan
atau rehabilitasi terhadap korban untuk memulihkan trauma mental yang dialami. Ia
sangat berharap ada kerja sama dengan anak muda dan mahasiswa untuk melaporkan
kepada pihak yang berwajib jika menemukan kasus di masyarakat.
Pembekalan
dari sisi hukum dipaparkan oleh Bripka Ida P.T. Yarmika, S.H, Kepala unit PPA
Satuan Reserse Kriminal Polres Sumba Timur. Ia memaparkan pelanggaran hak-hak perempuan
dan penanganannya. Setiap orang berhak atas hak-hak asasinya tanpa perbedaan ras
dan jenis kelamin. Hal ini ditegaskan dalam deklarasi Hak Asasi Manusia oleh
PBB tahun 1948, perempuan memiliki hak di bidang politik, kewarganegaraan,
pendidikan dan pengajaran, profesi dan ketenagakerjaan, kesehatan dan hukum. Berkaitan
dengan korban pemerkosaan, PSK dalam praktik prostitusi, aborsi, pornografi dan
perdagangan perempuan, penanganan dilakukan secara normatif melalui jalur hukum. Penanganan lain dengan berdasarkan keaarifan lokal, dilakukan di luar proses peradilan dengan berdasarkan kekeluargaan.
Jufri
Adipapa, salah satu team Stube-HEMAT Sumba mengajak, “Mari, mahasiswa sebagai kaum intelektual menjadi corong
informasi bagi orang-orang di sekitar kita untuk bersama-sama menjaga keamanan
dan kenyamanan bermasyarakat. Hidup tanpa diskriminasi, menjunjung tinggi HAM terutama hak perempuan dan anak. Selanjutnya semua bisa berpartisipasi dalam Rencana Tindak Lanjut (RTL) berupa aksi
memperingati hari Perempuan Internasional pada tanggal 3 Maret 2018”.
Perjuangan demi hak perempuan dan anak merupakan perjalanan
panjang, dan ini berawal dari kita sejak saat ini. (Adriana
Pindi Moki).
Komentar
Posting Komentar