Menghargai Waktu
(Desri Kahi Mila Meha, STT Terpadu Waingapu)

Kebiasaan
ini masih dilakukan oleh sebagian orang di Sumba Timur,
bahkan juga kebiasaan di komunitasa
saya, sehingga melekat
dalam diri saya. Kebiasaan buruk saya yang sering
mengulur-ulur waktu membuat banyak hal terbuang meskipun seharusnya perlu dilakukan. Akibat lain dari tidak
menghargai waktu, banyak pekerjaan tidak terselesaikan.
Saya sangat
terinspirasi dengan kegiatan yang saya ikuti selama saya di Yogyakarta yang
begitu disiplin dengan waktu dan bahkan setiap kegiatan diatur oleh
waktu dan juga dibatasi oleh waktu yang sudah ditentukan. Melalui kesempatan
ini saya belajar menyesuaikan diri dan menjadi sebuah keharusan untuk saya
lakukan ketika saya berada di Yogyakata, karena bagi saya kedisiplinan adalah hal yang sangat bagus untuk menjadikan saya seseorang yang bisa menghargai
waktu.
Saya harus mengubah
kebiasaan saya yang lama dengan menerapkan kebiasaan baru untuk menghargai dan mengatur waktu
dengan baik. Apabila semua yang saya lakukan diatur oleh waktu
maka otomatis apapun yang saya lakukan akan selesai tepat waktu dan diposisi
lain juga bisa memiliki waktu untuk mengerjakan hal lain. Saya berharap ketika saya menerapkan hal yang baik di tengah komunitas
saya, ada efek positif yang juga dilakukan juga oleh orang-orang yang ada di sekeliling
saya. Hal terpenting adalah saya memulainya dari diri
saya sendiri terlebih dahulu untuk menjadi panutan bagi orang lain. Ayo…..tanamkan budaya
menghargai waktu!!!
Kekuatan Perbedaan Iris Mata
(Erik Bidikonda Hawula, Unkriswina,
Waingapu)

Perbedaan–perbedaan
yang ada di sekitar kita sering memungkinkan perselisihan
atau konflik yang apabila tidak ditangani serius bisa
memburuk bahkan bisa menjurus pada pertumpahan darah. Tentu bukan hal yang mustahil jika dari perbedaan-perbedaan yang ada tersebut bisa dipersatukan.
Mengapa saya lahir dari suku tertentu, ras tertentu yang memiliki budaya yang membentuk saya memiliki pemikiran serta
perspektif yang berbeda, hendaknya tidak menjadi
masalah kemanusiaan. Pemikiran dan perspektif yang berbeda dapat dipakai dalam merasakan dan melihat fenomena atau keadaan alam dan benda-benda yang
ada disekitar kita. Hal tersebut mungkin tak sempat kita pikirkan
bahwa orang yang memiliki perbedaan pemikiran dan
pandangan dapat memanfaatkan hal-hal yang tidak berguna menjadi punya nilai ekonomi, seperti para
pengrajin barang-barang daur ulang dan sampah seperti pecahan kaca menjadi
tatanan mozaik yang indah, tempurung kelapa menjadi produk kualitas eksport,
atau bahkan lahan pasir gersang menjadi lahan pertanian yang subur. Iris mata sebagai kekuatan untuk melihat dan perubahan tidak mungkin terjadi ketika kita gagal untuk melihat
perbedaan.
Indonesia mempersatukan kita dalam perbedaan 1.300 suku, 1.158
bahasa daerah dan berbagai perbedaan agama dan aliran
kepercayaan lokal. Tentu perbedaan ini bisa memicu konflik jika
kita tidak mampu melihat perbedaan adalah kekuatan. Dengan apa
kita melihat kekuatan itu? Tentu dengan iris
mata yang berbeda.
Proses Eksposur ke Stube-HEMAT Yogyakarta mengajarkan kami melihat
segala sesuatu yang terlihat biasa, bisa mempunyai nilai serta menerima dan memanfaatkan perbedaan untuk
dikelola menjadi kekuatan.
Saya mengikuti pelatihan Studi perdamaian, Wisma Ngesti Laras, Kaliurang
PEACE MAKER Dalam Konflik
(Marinus Mardi Ishak, STT GKS Lewa)

Konflik
yang ada di negeri ini tidak
saja berkaitan dengan persoalan humanis-religius tetapi juga
persoalan humanis-ekologis, sebagaimana topik-topik
yang telah
saya ikuti di Stube-HEMAT Yogyakarta sebagai model realita konflik kehidupan, yang
mencakup:1. Dialog
Lintas Agama, 2.
Bertani di lahan pasir, 3. Management
Peternakan, 4. Studi Perdamaian: Management Konflik dan
Resolusi Konflik, dan 5. Daur Ulang Sampah. Semua kegiatan tersebut
merupakan salah satu resolusi konflik yang ditawarkan kepada
masing-masing kami untuk bertindak sebagai PEACE MAKER.
Secara
kasatmata kita dapat melihat realita tersebut, bahkan tanpa kita
sadari kita pun sedang berada di tengah-tengah konflik tersebut. Pertanyaannya,
lalu apa yang harus kita perbuat? Mau tidak mau ini menjadi tanggung jawab setiap anak bangsa untuk mengelola dan memberikan
resolusi konflik yang ada. Mungkin kita bukan penabur dari konflik-konflik
tersebut, namun tanpa kita sadari kita pun merasakan imbas dari
situasi yang ada. Untuk itulah kita harus bertindak, sebagaimana ada
ungkapan “Kalau bukan KITA siapa lagi dan
kalau bukan SEKARANG kapan lagi”. Ungkapan ini memotivasi
saya untuk menjadi mediator yang baik di dalam menganalisa dan memediasi
konflik yang ada.
PEACE
MAKER, tidak hanya berpikir dan menganalisa tetapi juga bertindak secara sinergis dengan berjejaring lintas agama, suku dan ras dari Sabang sampai Merauke dan jangan terkurung dan terpuruk dengan konflik pribadi. Tanggung
jawab ini tentunya harus dimulai dari diri sendiri. Saya sangat berterima kasih
atas kesempatan mengikuti kegiatan di Stube-HEMAT Yogyakarta
dalam eksposur ini juga tim dan rekan-rekan di Yogyakarta.
Pengalaman dan ilmu yang diperoleh, akan dibagikan kepada teman-teman di Stube-HEMAT Sumba
sebagai wadah dan rumah bersama kami di Sumba. Terimakasih juga untuk jejaring yang boleh dibukakan dengan
teman-teman di Stube Jerman.
Komentar
Posting Komentar