Eksposur merupakan proses pembelajaran di mana peserta berinteraksi dan
belajar langsung terhadap suatu topik pembelajaran. Bentuk pembelajaran ini
memberikan manfaat besar karena peserta terlibat
langsung dalam proses pembelajaran guna membentuk suatu pengalaman dalam menemukan hal-hal baru. Eksposur
dilakukan di tempat tertentu yang berkaitan dengan topik pelatihan untuk
melengkapi proses belajar peserta.
Proses pembelajaran di Stube-HEMAT Sumba pun mempertimbangkan hal itu
dan pelatihan Pertanian Organik: Keragaman Pangan yang diadakan di GKS Kawangu,
Sumba Timur, 16-18 September 2016 bertema ‘Mau Makan? Ya Nggak Harus Nasi’
berlanjut pada hari Sabtu, 24 September 2016 berupa eksposur ke Kelompok Wanita
Tani (KWT) Rinjung Pahamu, di Wangga, Waingapu.
Dua puluh empat orang yang sebagian besar mahasiswa, didampingi oleh
Yulius Anawari dan Apriyanto Hangga, anggota team Stube-HEMAT Sumba mengadakan
eksposur ke KWT Rinjung Pahamu. Kelompok ini dipilih karena sudah mandiri dalam
mengelola kebun sayurnya yang terdiri dari berbagai jenis sayuran seperti
kacang panjang, sayur putih (sawi), terong, tomat, kangkung, pepaya dan paria.
Tanaman pangan pun tersedia di kebun itu seperti ubi jalar (petatas), singkong
dan jagung.




Naomi Tamar
Pangambang, ketua KWT Rinjung Pahammu mengajak para peserta ke kebun dan
berdialog tentang kebun sayur kelompok. Ia menyampaikan langkah-langkah
pengolahan lahan dan penanaman sayuran. Pertama, bersihkan lahan yang akan
digunakan dan buatlah bedengan. Selanjutnya tabur pupuk dari kotoran ternak
yang sudah diolah ke dalam bedengan dan biarkan selama dua minggu. Kedua,
sambil menunggu pupuk menyatu dengan tanah, semai bibit sayuran di persemaian
dan siram secara rutin. Bibit akan tumbuh dalam waktu dua minggu dan siap
dipindah ke bedengan. Ketiga, siram tanaman setiap pagi dan sore, gemburkan
tanah dan bersihkan rumput yang tumbuh di antara tanaman. Keempat, jika ada
gejala penyakit, lakukan penyemprotan hama menggunakan bahan alami, seperti
fermentasi daun gamal, daun mahoni, cabe dan bahan lainnya. Proses itu
dilakukan sampai masa panen.


Setelah pengamatan dan berdialog langsung dengan ibu Naomi, peserta makan
bersama dengan menu nasi jagung, sayuran dan ubi hasil dari kebun. Sebenarnya ada banyak manfaat yang diperoleh jika
memiliki kebun sayur mandiri, seperti tersedianya sayuran, lebih sehat karena
dirawat secara organik, lebih hemat biaya belanja sayuran dan bisa belajar
bercocok tanam. Setelah eksposur para peserta ditantang ide kreativitasnya
memanfaatkan pekarangan rumah, misalnya mengolah pekarangan mereka menjadi
kebun sayur rumah tangga.
Sekembalinya dari Wangga, para peserta berkumpul di sekretariat
Stube-HEMAT Sumba dan memikirkan kembali pembelajaran yang baru saja mereka
dapat dan akan memulai mengolah pekarangan rumah sebagai kebun kecil mereka.
Sebagai langkah awal, team Stube-HEMAT Sumba menyediakan bibit sayuran seperti
kangkung, sawi, bayam, terong, paria dan ubi jalar (petatas) dan mereka memilih
bibit tanaman yang akan mereka tanam.

Jufri
Adipapa, mahasiswa Unkriswina memanfaatkan pekarangan sekretariat Stube-HEMAT
Sumba untuk menanam jagung, cabe paria dan terong. Marten Rangga Mbani, salah
satu peserta, mahasiswa STT Terpadu, Waingapu yang tinggal di Mboka menanam
kangkung, sawi, bayam dan petatas. Ia berhasil panen sawi, sedangkan kangkung
tidak berhasil karena kesulitan air, sedangkan ubi petatas belum masanya panen.
Yati dan Meli di STT GKS Lewa sudah panen petatas, sedangkan Desri dan Naomi di
Waingapu gagal panen karena sayuran dimakan kambing.
Keberhasilan
dan kegagalan dalam pertanian adalah bagian dari pembelajaran. Tetap jagalah
semangat dan terus mencoba. Belajar dari pengalaman pertanian menuju
kemandirian dan keragaman pangan rumah tangga. (TRU).
Komentar
Posting Komentar