Tiga puluh hari berada di Sumba merupakan
kesempatan yang sangat berharga. Tidak setiap orang bisa mengunjungi Sumba dan
menikmati keelokan alam, keunikan budaya dan masyarakatnya. Dua orang mahasiswi
aktivis Stube-HEMAT Yogyakarta berani menjawab tantangan Exploring Sumba:
berpetualang menemukan pengalaman baru dan berbagi pengetahuan yang mereka
miliki.
Sarloce Apang, yang berasal dari Buli, Halmahera
Timur, Maluku Utara merupakan alumnus Institut Teknologi Yogyakarta. Loce, nama
akrabnya, mengadakan sosialisasi pemanfaatan pekarangan untuk tanaman buah
pepaya dan tomat, praktek membuat sirup buah jambu mete dan diskusi dengan
mahasiswa aktivis Stube-HEMAT Sumba di Waingapu.
Loce mengajak anak muda memanfaatkan pekarangan
dengan menanam tanaman, yaitu pepaya dan tomat. Kegiatan ini diadakan di rumah
Yulius Anawaru, salah satu team kerja Stube-HEMAT Sumba. Bibit pepaya perlu
penanganan khusus sebelum disemai karena harus direndam air hangat selama 24
jam. Setelah itu menyiapkan media tanam kompos kotoran babi, kompos kotoran
kambing dan ampas kayu. Media tanam tersebut dimasukkan ke polibek sejumlah
tiga puluh buah. Keesokan harinya, bibit pepaya yang sudah direndam itu ditanam
di polibek dan perlu dua belas hari untuk tumbuh.


Berikutnya adalah praktek membuat sirup jambu
mete yang diadakan di pastori GKS Kanjongan Bakul. Mengapa jambu mete? Karena
jambu mete hanya dijadikan sebagai makanan babi, tetapi sebenarnya memiliki
kandungan vitamin yang bermanfaat untuk tubuh. Jika dikonsumsi langsung memang
ada rasa ‘sepet’ tetapi setelah diolah menjadi sirup, rasanya jauh lebih
nikmat. Bahan yang dibutuhkan adalah daging buah jambu mete masak, gula pasir,
garam dan jeruk nipis. Jambu mete yang sudah dipotong-potong kemudian direndam
air garam selama empat jam, selanjutnya dikukus selama 15-20 menit. Setelah itu
diblender sampai halus lalu disaring. Sari buah jambu mete ditambah jeruk nipis
dan direbus sambil diaduk sampai mendidih.


Loce berinteraksi dengan aktivis Child Fund yang
saat itu sedang membuat ‘manggulu’ makanan khas Sumba dan berkunjung dan
berdialog dengan aktivis Wahana Visi Indonesia (WVI), sebuah Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) yang mendampingi pembangunan masyarakat. Loce berdialog
tentang permasalahan yang dihadapi anak-anak dan kaum perempuan di Sumba.
Berkaitan dengan kegiatan mahasiswa, Loce mengikuti diskusi di GMNI yang
membicarakan perlunya generasi muda kembali memperhatikan desa dan membangun
desanya.
Peserta berikut adalah Julianti Marbun, alumnus Universitas
Gadjah Mada, yang juga aktivis Stube-HEMAT Yogyakarta. Dengan topik Sumber Daya
Manusia, Kesehatan dan Kreativitas, Julianti memaparkan bahwa kesehatan
berkaitan dengan pola hidup sehat masyarakat dan pengembangan tanaman herbal
serai. Lingkungan yaitu penguatan SDM tentang pola hidup pada lingkungan yang
sehat, seperti penanganan dini penyakit malaria memanfaatkan serai. Kemudian,
pengembangan kreativitas melalui penyuluhan lingkungan pada kelompok anak-anak,
kaum pemuda, kelompok tani dan anggota gereja. Penguatan manajemen komunitas diperlukan
untuk menjaga hubungan antara masyarakat, gereja dan alam.
Kondisi geografis Sumba Timur yang berbukit-bukit
dan kering berdampak pada minimnya pemanfaatan lahan oleh masyarakat untuk budidaya
dan pengembangan pertanian.
Julianti berbagi pengalamannya di kelompok tani
Kahangu Eti, kelompok tani Rinjung Pahamu dan ibu-ibu di desa Praipaha, Nggaha
Ori Angu tentang cara mengolah lahan dan budidaya tanaman serai yang bisa dimanfaatkan
sebagai minuman dan obat nyamuk alami. Kaum wanita dan kelompok tani yang
mengikuti sosialisasi diingatkan kembali untuk memperhatikan lingkungan, pola
hidup sehat, penanganan dini malaria dan potensi budidaya tanaman serai di
pekarangan rumah.
Penguatan manajemen komunitas dilakukan pada kelompok
Rinjung Pahammu berupa ‘berfikir kreatif dan inovatif’ dalam mengembangkan ide
atau gagasan yang menghasilkan sebuah karya menuju konsep ekonomi kreatif. Julianti
juga mengenalkan konsep lingkungan dan sanitasi pada kalangan anak-anak bersama
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Wahana Visi Indonesia (WVI) di Lembaga Perlindungan
Anak, Waingapu. Tak ketinggalan, sebagai aktivis mahasiswa, Julianti juga berdialog
dengan aktivis Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), tentang konservasi
sumberdaya lingkungan dan pemanfaatan lingkungan berdasar kearifan lokal.
Julianti berpesan kepada mahasiswa dan aktivis Stube-HEMAT
Sumba yang sudah bersama-sama belajar dengannya untuk tetap semangat dan
kreatif dalam menerapkan pengetahuan dan keterampilan sehingga bisa dirasakan
oleh orang lain dan masyarakat Sumba. (TRU).
Komentar
Posting Komentar