GERAKAN PENCERAHAN BUDAYA
Aula Sinode GKS Waingapu,
21 September 2013
Menindaklanjuti
Pelatihan Keragaman Budaya dan Dialog Bersama, dengan
tema Budaya Sumba Masa Kini yang dilaksanakan Jumat – Minggu, 13 – 15 September
2013 di GKS Okanggapi, Londalima, Stube-HEMAT Sumba mengadakan diskusi
lanjutan, dengan narasumber Marius Mura Woki, S.Sos, mantan Camat Haharu, Sumba
Timur. Diskusi di Aula Kantor Sinode GKS di Waingapu dengan moderator Yulius Anawaru,
S.Pt, salah satu team Stube-HEMAT Sumba dihadiri 24 peserta, termasuk Trustha
Rembaka, koordinator Stube-HEMAT Yogyakarta.
Marius Mura Woki
terpanggil untuk memberi pencerahan kepada masyarakat Sumba mengenai adat istiadat
Sumba. Gerakan
pencerahan budaya ini dilakukan melalui lembaga Forum Peduli Adat. Marius mengungkapkan
bahwa budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh
sebuah kelompok orang dan telah diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya
ini terbentuk dari unsur yang beragam bahkan cenderung rumit.
Marius Mura Woki, S.Sos |
Masyarakat
Sumba sebagian besar masih berada dalam belenggu kemiskinan, jadi masyarakat
perlu disadarkan dan dibangun supaya berada dalam taraf hidup yang layak,
misalnya kebutuhan dasar terpenuhi, memiliki pekerjaan layak, anak-anak
mendapat pendidikan yang baik, serta kesehatan terjamin. Namun kenyataan
terjadi sebaliknya, keuangan keluarga yang seharusnya untuk pendidikan anak
ataupun kesehatan keluarga terpaksa
dialihkan untuk mencukupi tuntutan adat.
Adat
istiadat merupakan hasil dari kebudayaan, yang diciptakan oleh manusia jaman
dulu yang terwariskan hingga saat ini, untuk membawa manusia ke dalam keadaan
yang mulia. Namun ironisnya, ritual budaya tertentu justru membelenggu bahkan
memiskinkan, dan dinilai tidak sesuai lagi dengan keadaan masa kini. Beberapa produk
budaya Sumba yang masih ada saat ini antara lain, pakaian adat, rumah adat, sirih
pinang, tari-tarian, adat kematian, dan adat perkawinan.
Marius memberikan contoh
adat kematian merupakan
salah satu adat yang membutuhkan biaya mahal, karena banyak menggunakan hewan,
misalnya babi, kerbau, kuda, dan kain. Ia menggarisbawahii bahwa ia tidak
bermaksud menghilangkan adat istiadat tersebut, namun menyederhanakan
aturan-aturan adat yang berlaku. Ia mengawali penyederhanaan aturan adat
kematian itu dari marga keluarga besarnya di daerah Mangili, Sumba Timur.
Peserta
menanggapi bahwa budaya Sumba sudah terbentuk sedemikian lama, jadi proses
penyederhanaan pun tidak akan bisa dilakukan dengan cepat. Selain itu, ada
peserta yang mengungkapkan bahwa penyederhanaan ini memerlukan kesepakatan
sejauh mana penyederhanaan aturan adat istiadat itu bisa dilakukan, sehingga
bisa diterima oleh marga-marga yang
berkepentingan.
Diskusi
yang diwarnai berbagai pertanyaan dan tanggapan ini ditutup dengan pernyataan
bahwa kebudayaan itu akan berkembang terus menerus, seseorang jangan sampai
terbelenggu oleh kebudayaan, dan harus mampu menunjukkan identitas kebudayaan
yang dimiliki. (TRU)
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusnama pemateri salah mas, sebenarnya MARIUS KURA MOKI, S.Sos
BalasHapussalam
http://ydtsumba.blogspot.com